Sejarah Situs Patapan
Di Kampung Patapan Pasir, Desa Nagara, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang terdapat sebuah tinggalan berupa bangunan yang sebagian besar masih terpendam dalam tanah. Tinggalan ini dikenal dengan nama situs Patapan. Situs ini diperkirakan merupakan temuan pasca kemerdekaan, karena dalam buku inventaris kepurbakalaan yang disusun N.J. Krom tahun 1914, di wilayah Kabupaten Serang tidak ada situs bernama Patapan. Pada tahun 1991/1992 dan 1992/1993 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Serang melakukan upaya perlindungan dengan cara pemagaran situs Patapan. Baru pada tahun 1996, Balai Arkeologi Bandung melakukan peninjauan dan pemotretan yang ditindaklanjutidenganpenelitian pada tahun 1997-1998. Pada tahun 2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang melakukan studi teknis di situs ini.
1. Deskripsi Situs Patapan
(Gambar ini diambil pada 07 november 2021)
Pada awalnya situs patapan diduga sebagai
tinggalan tradisi megalitik, karena dari bentuk bangunannya menyerupai
punden berundak yang lazim dijumpai pada bangunan peninggalan tradisi
megalitik. Bangunan situs ini diduga pula digunakan pada masa-masa berikutnya
atau setelah ditinggalkan masyarakat pendukung tradisi megalitik. Ketika
pengaruh budaya islam datang kemudian,
bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perasingan diri.
Menurut pemerintahan Banten, Pada saat itu digunakan
sebagai tempat bertapa, sesuai dengan namanya "patapan/pertapaan"
yang berasal dari kata tapa atau semedi. Diceritakan pula bahwa dahulu pernah
digunakan sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan santri yang bertugas
mensyiarkan ajaran Islam di wilayah Banten. Cerita rakyat yang lainnya
menyebutkan Prabu Pucuk Umun penguasa Banten Girang dan para pengikutnya sedang
membuat meja dan kursi untuk bermusyawarah, Sultan Banten mengetahui hal
tersebut dan berniat menangkapnya. Pucuk Umun dan pengikutnya kemudian
melarikan diri dan melompat ke rawa Ciateul untuk menghindar dari kejaran Sultan
Banten. Pucuk Umun kemudian menghilang. Rawa Ciateul tempat melompat dan
menghilangnya Pucuk Umun kini disebut Kampung Bunian.
Namun, berdasarkan dari hasil penelitian Balai Arkeologi Bandung (1996 dan 19971998) serta hasil studi teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (2003), secara arsitektural dan teknologi, situs Patapan diperkirakan sebuah bangunan candi. Bangunan situs Patapan membentuk sebuah batur bujursangkar yang berukuran 10 m (Balai Arkeologi Bandung menyebut ukuran 15 x 15 m). Batur ini terbuat dari susunan satu lapis batu pasir berwarna putih di bagian luar, sedangkan di bagian dalamnya terdiri dari pengerasan tanah bercampur tatal-tatal batu pasir. Di tengah batur terdapat altar pemujaan
Bangunan di Situs Patapan dapat dibandingkan dengan peninggalan masa Hindu abad ke-8 seperti candi Sambisari di Kabupaten Sleman dan Candi Tengaran di Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah. Pada saat ditemukan kedua candi tersebut berbentuk sebuah batur yang di tengahnya terdapat candi kecil dan di tepi batur terdapat umpak-umpak tiang. Adanya umpak-umpak pada kedua candi tersebut ditafsirkan bahwa candi kecil dibangun setelah batur didirikan. Kemudian memakai atap dan tiang kayu.2. Lokasi Situs Patapan
Situs Patapan secara administrasi terletak di Kampung Patapan Pasir,
Desa Nagara, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang. Secara astronomis Situs Patapan
berada pada titik koordinat 06? 11' 23,1" Lintang Selatan dan 106? 17'
20,5" Bujur Timur. Batas-batas dari Situs Patapan, disebelah utara berbatasan
dengan persawahan, di sebelah selatan berbatasan dengan kebun dan pemukiman
penduduk, di sebelah timur berbatasan dengan persawahan, dan sebelah barat
berbatasan dengan jalan desa dan Kantor Desa Nagara.
Situs tersebut dikelilingi pepohonan rindang dan rumput kehijauan dan terdapat 27 anak tangga menuju puncak Situs Papatan.
Pemandangan epik tersebut makin komplit dengan udara sejuk di sekitarnya. Sejumlah kursi bak di taman menjadi tempat favorit para pengunjung.
3. Sejarah Situs Patapan
Situs Patapan Cikande jika di artikan secara struktur
bahasa/etimologi yaitu Patapan merupakan berasal dari bahasa Sunda yaitu
Patapaan yang artinya tempat tempat tapa, atau tempat matuh Pandita.
Situs ini
merupakan situs temuan baru paska kemerdekaan yang pada mulanya kurang di
perhatikan. Dalam cerita rakyat Situs Pertapaan ini di buat dan di manfaatkan
pada awal masa islamisasi wilayah Indonesia wilayah Banten, di gunakan sebagai
tempat pertemuan ulama dan santri dalam rangka menyusun strategi islamisasi
wilayah Banten. Sumber lain mengatakan bahwa situs ini sebagai tempat
"pangrereban" Sultan Hasanuddin. Sesuai dengan namanya situs ini di
jadikan sebagai tempat bertapa.
Akan tetapi pada awalnya situs Patapan diduga sebagai
tinggalan tradisi megalitik, karena dari bentuk bangunannya menyerupai punden
berundak yang lazim di jumpai pada bangunan peninggalan tradisi megalitik.
Bangunan di situs ini di duga pula digunakan pada masa - masa berikutnya atau
setelah di tinggalkan masyarakat pendukung tradisi megalitik. Ketika pengaruh
kebudayaan Hindu datang, bangunan di situs Patapan digunakan sebagai bangunan
sakral dan ketika kebudayaan Islam datang kemudian, bangunan ini di pergunakan
sebagai tempat pengasingan diri (Tirakat). Dengan struktur bangunan terbuka di
buat pada bagian atas atau puncak sebuah bukit, menyerupai bangunan punden.
Pemilihan lahan bukit sebagai sarana spiritual di ketahui berakar pada budaya
pra sejarah (megalitik) yang terpadu dengan konsep Meru (gunung suci) dalam
Hindu dan Budha, yang selanjutnya di manfaatkan oleh penyebar agama Islam (para
Wali) yaitu "paham mistik Jawa-Hindhu itu oleh mereka di selaraskan dan di
perbaharui dengan unsur-unsur mistik Islam yang terkandung dalam ajaran
Tasawuf". Penyelarasan itu dapat terjadi karena kedua faham mempunyai
hakekat tujuan yang sama yaitu persatuan diri dengan Tuhan. Menurut Nina Lubis, situs patapan (tempat
bertapa), dapat di kategorikan sebagai tradisi berlanjut karena pemakaiannya
dari masa megalitik hingga Islamisasi di Banten.
Sedangkan berdasarkan cerita rakyat setempat di ceritakan
bahwa situs Patapan di buat pada masa pemerintahan kesultanan Banten. Pada saat
itu di gunakan sebagai tempat bertapa, sesuai dengan namanya
"patapan/pertapaan" yang berasal dari kata Tapa atau Semedi. Di ceritakan
juga dahulu pernah digunakan sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan santri
yang bertugas menyiarkan ajaran Islam di wilayah Banten. Cerita rakyat lainnya
menyebutkan mengenai Prabu Pucuk Umun penguasa Banten Girang dan para
pengikutnya sedang membuat meja dan kursi untuk bermusyawarah. Sultan Banten
mengetahui hal tersebut dan berniat menagkapnya. Prabu Pucuk Umun dan
pengikutnya
kemudian melarikan diri dan melompat ke Rawa Ciateul
untuk menghindar dari kejaran Sultan Banten, Pucuk Umun kemudian menghilang,
Rawa Ciateul tempat melompatnya dan menghilangnya Pucuk Umun kini di sebut
Kampung Bunian
Namun, berdasarkan dari hasil penelitian Balai Arkeologi
Bandung (1995 dan 1997-1998) serta hasil studi teknis Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang (2003), secara arsitektural dan teknologi, situs
Patapan di perkirakan sebuah bangunan Candi. Bangunan situs Patapan membentuk
sebuah batur bujursangkar yang berukuran 10 x 10 m (Balai Arkeologi Bandung
menyebut ukuran 15 x 15 m). Batur ini terbuat dari susunan satu lapis batu
pasir berwarna putih di bagian luar, sedangkan di bagian dalamnya terdiri dari
pengerasan tanah bercampur tatal-tatal batu pasir. Di tengah batur terdapat
altar pemujaan. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Serang, 2004) dengan
unsur-unsur mistik Islam yang terkandung dalam ajaran Tasawuf".
Penyelarasan itu dapat terjadi karena kedua faham mempunyai hakekat tujuan yang
sama yaitu persatuan diri dengan Tuhan. (Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi
Banten. 2008). Menurut Nina Lubis, situs patapan (tempat bertapa), dapat di
kategorikan sebagai tradisi berlanjut karena pemakaiannya dari masa megalitik
hingga Islamisasi di Banten.
Sedangkan berdasarkan cerita rakyat setempat di ceritakan
bahwa situs Patapan di buat pada masa pemerintahan kesultanan Banten. Pada saat
itu di gunakan sebagai tempat bertapa, sesuai dengan namanya "patapan/pertapaan"
yang berasal dari kata Tapa atau Semedi. Di ceritakan juga dahulu pernah
digunakan sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan santri yang bertugas
menyiarkan ajaran Islam di wilayah Banten. Cerita rakyat lainnya menyebutkan
mengenai Prabu Pucuk Umun penguasa Banten Girang dan para pengikutnya sedang
membuat meja dan kursi untuk bermusyawarah. Sultan Banten mengetahui hal
tersebut dan berniat menagkapnya. Prabu Pucuk Umun dan pengikutnya kemudian
melarikan diri dan melompat ke Rawa Ciateul untuk menghindar dari kejaran
Sultan Banten, Pucuk Umun kemudian menghilang, Rawa Ciateul tempat melompatnya
dan menghilangnya Pucuk Umun kini di sebut Kampung Bunian.
Namun, berdasarkan dari hasil penelitian Balai Arkeologi
Bandung (1995 dan 1997-1998) serta hasil studi teknis Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang (2003), secara arsitektural dan teknologi, situs
Patapan di perkirakan sebuah bangunan Candi. Bangunan situs Patapan membentuk
sebuah batur bujursangkar yang berukuran 10 x 10 m (Balai Arkeologi Bandung
menyebut ukuran 15 x 15 m). Batur ini terbuat dari susunan satu lapis batu
pasir berwarna putih di bagian luar, sedangkan di bagian dalamnya terdiri dari
pengerasan tanah bercampur tatal-tatal batu pasir. Di tengah batur terdapat
altar pemujaan.
DAFTAR PUSTAKA :
Buku Balai pelestarian peninggalan purbakala serang, wilayah kerja prov banten,jawa barat,DKI jakarta dan lampung. Ragam pusaka budaya banten Hlm : 66
buku database cagar budaya dikabupaten serang
Artikel sarinah Situs Patapan Cikande https://id.scribd.com/document/427222956/Situs-Patapan-Cikande
Khatib Mansyur. 2001, perjuangan rakyat menuju provinsi
Komentar
Posting Komentar